Saya memilih diam, singkat saja, capek berkoar koar, ya saya diam. Kadang saya berkoar juga, sampai pada titik dimana saya bertanya pada diri saya sendiri? Buat apa? Mau sampe kapan? Manfaatnya apa?
Apakah atas nama ego, dengan balutan emosi dan kata kata berapi api, atau bahkan sindiran penuh arti, apakah kebenaran itu mutlak dan layak diejawantahkan dalam bentuk rangkaian kata, yang seringnya tak terangkai dengan elegan, tidak kah saya capek? Tentu saja saya capek, maka sekali lagi saya memilih diam.
Apakah saya mengeluh? Ataukah saya merajuk? Terserah saja apapun intepretasi kalian, toh diam saya lebih menenangkan, dibandingkan lisan saya yang kadang sulit dijaga dan kerapkali memuntahkan caci maki lewat kata, sesuatu yang selalu saya sesali pada akhirnya.
Saya memang bukan makhluk yang mudah buat melampiaskan rasa kesal saya dalam kata kata, baik lewat karya sastra, narasi cerita, atau caci maki menggila, selama ini, pelampiasan kesal saya kalo gak di musik, ya olah raga, dan setelah sekian lama saya merenung, mungkin diam kadang ada baiknya, paling enggak buat saya.
“If you have nothing good to say, then say nothing. . . ” mungkin kurang lebih, seperti itulah yang sering muncul di benak saya, yah daripada saya banyak bicara mengumbar kejelekan , lalu emosi menuntun diksi yang semakin lama setajam bilah besi, yang biasanya diakhiri dengan rasa antipati, kesal sendiri, disertai naiknya tensi. . . . nunggu collapse doang dehh, lalu kalo begini, lebih baik “Diam” kan?
Mungkin banyak yang berpendapat, diam gak menyelesaikan masalah, mungkin itu benar, tapi saya juga capek kalo harus menyakiti hati saya sendiri, dengan berkoar, dibalas argument dan tidak diakhiri dengan solusi yang logis, yang biasanya berujung.. seolah olah.. sekedar eksis. Maka dari itu saya memilih untuk diam.
Diamku memang tidak untuk menyelesaikan masalah, masalahku, masalah mu, masalah kita, masalah kalian, tapi dengan diam, saya hanya berharap otak kerdil ini diberi sedikit waktu, tak lama, sejenak saja, sampai saya mampu mencerna dan mencoba menyikapi semua dengan lebih bijak sana, lebih dewasa, walaupun saya bisa saja bertindak sebaliknya, karena mencaci itu semudah megeluh, berpotensi menyakiti dan tidak jarang berakhir tanpa solusi, lalu apa gunanya? . . *terdiam*
aaahhh . . .
Dan lagi, dari segi usia, seharusnya kita sudah sama sama dewasa,
betul kan?
[ Ketika lisanku terkunci, duduk disampingku dekat, genggam jemariku erat , coba tatap mataku, mungkin bisa kau lihat, tiada caci maki disana, karena dalam diam … hatiku masih kerap menyenandungkan hangatnya pelukan… dalam bait bait kesunyian . . .]
growled by.
2 screams!:
kak syn...
are you okay?
kenapa kq tiba2 diam siyh? ;)
kalo suasana lg memanas, memang lbh baik kita diam...
stlh suasananya adem, baru kita utarakan pndpt kita dg bicara baik2 tentunya...
kalo kelamaan diam jg gak baik...
diam2 menghanyutkan nantinya...hahaha
ayo, rame ajah...
badut kan hrs selalu ceria...
hakhakhakha
halo mbak vany,
hehehe saya kalo lagi kesel emang seringan diem si, daripada meleduk, kaya kompor entar...
i'm okay kok, cuma lagi sedikit kesel aja,
btw makasie ya udah mampir sini...
Post a Comment