Saturday, January 23, 2010

Langitku Cerah Sebelah ...



Roda-roda kursi itu berputar di pinggiran halaman belakang rumah tua yang menghadap ke barat.

Wanita diusia senja itu tak hentinya tersenyum ketika Langit mengisahkan cerita lucu tentang almarhum bapak dulu. Seorang laki laki, keras, namun selalu hangat dan bijak dalam keluarga, ah Bapak.

"Ibu, gak bosan memandang matahari terbenam setiap hari?" tanya Langit seraya melangkah pelan mendorong kursi roda itu.

"Bapakmu pernah bertanya persis seperti itu"
"Lalu, ibu jawab apa?"

Wanita itu tersenyum.

"Sama sekali tidak, ada sedikit kenangan manis ketika matahari terbenam, kenangan semasa pacaran dulu, dan ibu senang mengingatnya"

Langit hanya tersenyum. Roda-roda kursi itu menaiki pinggiran tanah yang agak tinggi. Sinar matahari sore memancar disela sela dedaunan pohon jambu yang di tanam bapak.

"Bu..."
"Ya..."

"Aku ingin ke Jakarta Bu, kata bapak, banyak rejeki disana"

"Pendirianmu tak berubah juga nak, ibu tidak bisa mencegahmu kali ini kan?"
Wanita itu tersenyum lirih, menghela nafas, mengingat Jakarta pula lah yang telah merenggut suaminya tercinta.

"Sudah mulai gelap nak"
"Ya, Bu.."
Kursi roda bergerak pelan meninggalkan halaman belakang.

***

Duka masih sering singgah bila mengingat yang telah tiada. Tapi itu bisa sirna bila mengingat Ibu tak sedih meninggalkan semua miliknya. Bibirnya tersenyum dalam lelapnya. Mungkin tersenyum karena bapak sudah menantinya disana.

Langit masih bisa mengenangkan-nya sampai kini. Padahal peristiwa itu sudah enam tahun berlalu.

Semuanya berubah, semuanya membaik, Tidak ada lagi kesepian dirumah ini, ketiga anaknya masih sering mengunjungi rumah tua ini, cucu-cucunya, setiap tahunnya. Seperti hari ini, Langit dan kedua adiknya, keluarganya, menghabiskan waktu di rumah Ibu.

***

Sore itu Langit menjenguk kamar Ibu.

Kursi roda itu di sana, di bawah foto Keluarga. Langit menariknya ke luar, lalu mendorongnya ke halaman belakang. Perlahan dia melangkah. Mengenang masa masa manis menunggu matahari terbenam bersama Ibu.

"Ibu...," Langit berbisik sambil mendorong kursi roda di tepi halaman, dibawah pohon jambu. Dalam khayalannya Ibu duduk di kursi itu.
"Bapak tidak pernah mati, Bu. Lihat! Matahari masih terbenam disana."

Tak ada jawaban. Daun jambu pun diam saja. Tak ada angin yang meniupnya hingga dia berayun kecil. Kursi roda bergeser pelan.

"Hari ini aku merasa aneh Bu, berkumpul lagi disini bersama anak anak kami, cucu cucu Ibu..." Langit berkata lagi sambil mendorong kursi roda.

"Seperti ketika ibu mengingat bapak, Aku selalu merasa Ibu tak pernah meninggalkan kami, ... Lucu ya Bu?"
Ibu tak menjawab. Karena Ibu memang tak ada di kursi roda.



"Maaasss.... Makanan sudah siap!" seru kedua adiknya dari pintu ruang makan di sisi pekarangan.


Langit membungkuk dan berbisik ke kursi roda,


"Ibu, mari kita makan malam...."




Roda-roda kursi berputar pelan.

***



[terinspirasi sebuah novel karya bung smas]


Sunday, January 17, 2010

Sssstttt . . . .


ssstttt.....
terlalu banyak distorsi disini
terlalu jauh jarak diantaranya
gak juga mendekat, gak juga mendekap
mungkin karena terlalu banyak beda
mungkin hati sedang ingin berbicara

ssstttt.....
diluar hujan rintik rintik
gemericiknya lebih merdu dari suara musik
jadi dengarkan saja, nikmati juga
menyulut tembakau berbalut rasa
diam tanpa kata

ssstttt.....
angin bertiup perlahan, disela sela tangkai dedaunan
lalu ada suara suara mengiringinya
disini aku terduduk menikmati jalinan nada
tanpa kata
betapa nikmatnya...

ssstttt.....
duduk disampingku, jangan terlalu jauh
pegang erat tanganku, jangan dilepas
duduk manis...
diam bersamaku
temani aku malam ini


ssstttt.....
gak susah kan?

btw...
namaku pandhu...

dan kamu?