Wednesday, November 11, 2009

Blue Ransel . . .



Pengen sharing sebuah buku karya Gola Gong yang ketika saya esempe begitu menginspirasi saya, hingga sekarang.

Buku yang dahulu saya pinjam dari perpustakaan sekolah, karena uang jajan saya pada saat itu hanya cukup untuk membayar denda keterlambatan peminjaman buku, yang notabene lebih murah dibandingkan membeli bukunya.

mengarungi samudra waktu tak bertepi
gelisah aku dalam perahu nasib
gelap dan rahasia, tak terselami
aku tak tahu mengapa sampai di sini
terlunta sendirian menyiulkan tembang
o, alangkah rawannya hidup lelaki
begitu jauh mencari tempat pijak
[Toto ST Radik]

Balada Si Roy, bercerita tentang nilai nilai kelaki lakian, dibalut cerita manis getirnya kehidupan, persahabatan, ke-Tuhanan, dan pastinya gak terlewat, kisah mehe mehe tentang cinta. Balada Si Roy, dimana disetiap judulnya memiliki emosi tersendiri. Diibaratkan ruh, setiap judul memiliki ruh sendiri.

Adalah Roy, remaja abal2 yang bandel tapi gentle, urakan tapi tahu aturan, kasar tapi gak brutal, sosok sederhana tapi peka terhadap lingkungan sekitarnya. Remaja yang gelisah. Seorang laki laki. Seorang petualang.
Saya begitu meresapi kisah di buku ini,memacu adrenalin saya untuk terus mencoba menjadi seorang "lelaki". Dan menjadikan Roy sebagai role model imajiner saya [padahal waktu itu saya masi esempe!?!?!]. Yang ternyata setelah saya googling kemana mana, banyak juga yang terinspirasi seperti saya.

biarlah aku terus terlunta
di jalan-jalan asing berdebu
sendirian meraba arah hidupku
menghadapi pahit nyeri luka-luka
sebab langkah yang telah ditempuh
tak bisa ditawar dengan keluh!
[Totok ST Radik]

Beranjak SMA mendadak beli ransel berwara biru, sok heroik menghabiskan waktu di jalan, gerbong, masjid...nongkrong doang.... kemping tapi perlengkapan banyak benerr, naek gunung cuma pengen tau rasanya metik edelweis, pokonya berasa petualang beneran deh [tapi rame rame, sementara Roy...sendirian!]


Remaja Roy mengajari saya untuk melihat sekeliling, belajar mengenal hidup tanpa harus bergantung pada siapapun. Mengajari hidup sesungguhnya, menjadi pionir. Tidak untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri!

"Dunia adalah milik orang-orang pemberani!"

Remaja Roy juga mengajari saya bahwa menjadi lelaki bukan berarti harus sok jago, menganggap remeh orang lain melainkan menjadi berani! Berani untuk memilih, untuk memiliki, berani untuk berbuat dan mempertanggungjawabkannya. Berani untuk mencari, mendapatkan dan pada saat yang sama berani pula untuk kehilangan.

seperti kita yang berlari
waktu berpacu bersama angin
melindas tapak
membenamkan jejak, tak bermakna
seperti pelarian kita
[Asih Purwaningtyas]

Roy dengan ransel dan perjalanannya membuat saya bermimpi bahwa suatu saat harus bisa mengelilingi tempat-tempat indah di Indonesia. Beruntung saya, beberapa tempat telah saya singgahi, dengan ransel biru saya itu [seperti milik Roy pastinya!]

Dan ketika menulis postingan ini, pikiran saya kembali ke kisah kisah Remaja Roy, kenangan masa esempe saya, kangen jalan jalan, kangen kemping, kangen teman teman, kangen kampung halaman, kangen udara segar, kangen semuanya...

"jadi Roy..."

"...... Kapan kita bertualang lagi?"




[kilas balik - Episode 1 , Buku Pertama "Joe" ]

"Remaja Roy mengayuh sepeda balapnya pelan-pelan.
"Ayo, Joe!" seru Roy. Anjing herder itu menyalak kegirangan. Bulunya yang cokelat kehitaman berkilat. Gerak-geriknya melindungi majikannya dari bahaya.
Remaja Roy memang jadi pusat perhatian. Ke sekolah dengan sepeda balap dan anjing herder? Itu absurd. Sebuah objek sensasi. Lain waktu telinganya mendengar suara-suara centil, manja, genit, dan menggemaskan. Dia tahu itu untuknya . . . . . "



*beberapa bagian tulisan diatas saya kutip dari beberapa pendapat orang orang yang menggemari buku ini seperti saya...*



Tuesday, November 10, 2009

The Maung !!!



berkalang rerumputan hijau membentang
dan delapan penjuru lampu telah dinyalakan
derap langkah 25 pasang kaki berjalan masuk ke dalam
malam ini adalah malam penentuan

sasangkala menjerit kencang
rantai adrenalin dilepaskan
layar berkembang dan jangkar terangkat
satu komando perompak viking siap bergerak

peluh beradu dan detak jantung berpacu
darah mengalir disela sela sayatan luka
berjibaku dalam riuhnya berjuta suara
aroma tanah lonjakan emosi berpacu dalam waktu

raungan erangan umpatan teriakan
berbaur dalam sumpah serapah makian
dalam riuh rendah gerakan senada
dalam satu komando pengeras suara

lautan biru dengan api merah menyala
dan ketika angka berbicara satu demi satu
tangan mengepal diatas kepala
sorak sorai gegap gempita

merangsak maju tanpa ampun
mencakar keji murka mengaum
keringat darah dan airmata
inilah awal sebuah cerita

tidak akan pundung kupastikan malam ini
karena sang maung akan tetap tegak berdiri
bagimu persib bandung...
jiwa ..raga...kami!!!



Saturday, November 7, 2009

Ceracau Subuh [rewrite]


di dalam suka aku tertawa
di dalam tangis aku berduka
di dalam cinta aku terlena
di dalam hidup aku terjaga

melawan luka dengan murka
berharap duka menjadi lupa
kisahku hadir dalam banyak kata,
menjadi cerita bagi keresahan jiwa

diriku hadir berdiri disatu sisi yang mungkin tak berpijak
dan menghadirkan derap yang terkadang tak beranjak

aku selalu berbicara tentang tajamnya duri….
namun juga bercerita tentang indahnya bunga melati

aku adalah saksi bagi kegelisahan jiwa

cerita realistis yang menjadikanku seperti sosok hedonis
tapi persetan dengan segala deskripsi psikologi yang ada
aku hanya manusia biasa
yang berusaha hidup ... sedikit lebih manusiawi

Sunday, November 1, 2009

Memoar Rumah Murai




Kota Palembang…
suatu waktu dalam memori masa kecilku...

Rumah itu, dengan bangunan tua yang masih terawat, masih teringat jelas...

Dan tanaman hijau, bunga anggrek dan suplir koleksi eyang putri mengitari pavilyunn rumah, rumput yang menghampar menghias pekarangan kediaman kakekku (alm), juga ayunan dengan kapasitas 4 orang bocah, dengan kayu berbalut cat putih, ayunan yang dahulu sering diperebutkan aku, adik2ku dan sepupu2ku, hingga sempat putus (iya... ulahku!!)


Sementara kolam ikan dan kandang ayam di pekarangan belakang yang luas, tempat biasanya kami makan duren beramai ramai ketika musim duren tiba, dan ketika malam tiba terkadang bernyanyi bersama diiringi petikan gitar Om-ku yang sekarang udah jadi pejabat, tak lupa diiringi recokan sepupu-sepupuku yang masih balita, juga riang suara tawa Tante dan Om-ku yang selalu ceriwis tidak pernah kehabisan bahan cerita.

Ahhh….rumah itu…apa kabarmu sekarang? pastilah semakin sepi saja, karena satu persatu penghuninya telah mempunyai kesibukan sendiri - sendiri atau telah habis dimakan usia?

Atau sekali waktu mungkin juga tetap terdengar riuh rendahnya tawa dari generasi baru, para keponakanku, hahaha …

”om pandhu…om pandhu…minta uaaannggg…minta traktiraaannn….”

mungkin demikian mulut2 kecil itu berucap, sama seperti pandhu kecil yang dahulu selalu menteror Om dan Tantenya ketika berkunjung ke Palembang…Om Pandhu?…hayyaaahh..saya masih terlalu muda untuk dipanggil “Om” Umur saya masih kepala dua hahaha!


Lalu kembali ke bangunan tua dengan kamar lebih dari 7 dan 3 ruang keluarga, 2 ruang makan dan 4 kamar mandi, memang serasa istana ketika aku masih kecil,

entahlah seperti apa sekarang?
masihkah penuh kehangatan?
masihkah terawat rapi?

masihkah kukenal setiap wajah penghuninnya?
masihkah mereka ingat padaku?

Lalu peraduan lengkap dengan bed cover dengan aroma yang khas, suara kicauan burung peliharaan si Om...
Dan yang pasti… selalu ada acara santapan kecil disore hari, secangkir teh atao es kelapa muda bahkan es kacang, dan pastinya ditemani pempek yang melimpah……

gosh…
those were such a nice moments……


aku merindu setiap detiknya…

sungguh…

aku rindu…